Malaka merupakan sebuah kota di
Malaysia yang kaya akan budaya. Di sini kita bisa traveling sambil mempelajari
kehidupan masyarakat Malaka yang walaupun etnis dan agamanya berbeda tetapi
tetap hidup rukun dan jarang sekali ada perpecahan diantara warag di Malaka.
Tepat jika Malaka disebut sebagai
melting pot. Kesan itulah yang muncul ketika pertama kali menjejakkan kaki ke
kota ini setelah menempuh perjalanan
sekitar dua jam menggunakan bus, langsung dari Kuala Lumpur Internatinal
Airport.
Sejarah Malaka dimulai lebih dari
7 abad lampau. Dimana Malaka menjadi pusat perdagangan sutera dan porselen.
Saat itu, Malaka dikunjungi oleh ratusan kapal setiap tahun yang membawa serta
pendatang dari berbagai etnis dengan tujuan terkait perdagangan.
Wajah Malaka saat ini diisi oleh
manusia berbeda etnis dengan tampilan fisik dan bahasa pengantarnya
masing-masing. Di sini, hidup berbaur etnis Melayu, China, India, Baba
Nyonya/peranakan-percampuran Melayu dengan China, Portugis, Chitty–percampuran
Melayu India dan Eurasia.
Mereka saling berinteraksi,
berbagi ruang tinggal yang sama. Masing-masing etnik menghidupkan tradisi dan
kebiasaan yang berbeda. Cerminan keragaman Malaka tidak hanya dari etnis
penghuninya.
Yang mencolok mata adalah aneka
bangunan tempat ibadah. Indah dari sisi arsitektur karena dibangun pada
zamannya masing-masing. Masyarakat Malaka memang menganut agama dan kepercayaan
yang berbeda–beda, umumnya satu etnik mayoritas menjadi penganut satu agama
tertentu.
Masing-masing tempat ibadah
memiliki tampilan arsitektur berbeda, sesuai dengan masa pembangunan dan
langgam pengaruh yang diterima. Perpaduan semuanya menghasilkan estetika pada
level yang mumpuni. Sangat memanjakan mata.
Diantara tempat ibadah yang bisa
disaksikan adalah
Church of Christ, Church of St Paul, Kuil Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi, Masjid Kampung Kling, Kuil Cheng Hoon Teng, Masjid Selat Malaka, Church of St Peter dan Kuil Sam Poh Kong. Konsentrasi utamanya di Jalan Laksamana dan Jonker, salah satu kawasan tertua di Malaka. Uniknya, masjid, kuil dan gereja dibangun sangat berdekatan. Pemandangan yang menarik.
Church of Christ, Church of St Paul, Kuil Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi, Masjid Kampung Kling, Kuil Cheng Hoon Teng, Masjid Selat Malaka, Church of St Peter dan Kuil Sam Poh Kong. Konsentrasi utamanya di Jalan Laksamana dan Jonker, salah satu kawasan tertua di Malaka. Uniknya, masjid, kuil dan gereja dibangun sangat berdekatan. Pemandangan yang menarik.
Nampaknya kita perlu belajar
tentang harmoni dari Malaka. Keragaman etnis
dan agama penduduknya tidak memicu konflik. Masyarakat Malaka hidup
bersama dan berdampingan dalam kedamaian.
Ada penghormatan dan pemberian
kebebasan pada masing-masing untuk mempraktekkan ajaran agamanya. Rasanya tidak
banyak tempat dimana gereja, kuil serta masjid bisa begitu banyak dan sangat
dekat jaraknya. Di dalamnya, ritual ibadah yang berbeda bisa dilakukan dengan
leluasa.
Di Malaka, toleransi antar umat
bukan lagi sekedar wacana. Bisa jadi, keyakinan mereka tentang toleransi sama
tuanya dengan usia kota. Selalu saja membuat rindu pulang setiap kali
mendapatkan pelajaran baik dari kampung orang. Semoga harmoni itu bukan sekedar
mimpi buat Indonesia.